Perjalanan Meraih “Australia Awards Scholarship” (Bagian 1)

Dengan beasiswa, kuliah S2 di Australia tidak lagi jadi angan-angan belaka.

Barangkali, sebagian lulusan sarjana punya cita-cita untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana tanpa harus khawatir memikirkan biaya kuliahnya dari mana.

Makin ke sini, biaya kuliah juga semakin naik. Sewaktu saya kuliah S1 di Padang, uang kuliah saya 350.000 rupiah per semester. Itu tahun 2004 yang lalu. Sekarang duit segitu sebesar iuran SPP keponakan saya di sekolah dasar yang dipungut tiap bulan.

Kuliah pascasarjana tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tahun 2010 yang lalu saja, teman saya di Pekanbaru yang sedang kuliah S2 cerita kalau uang kuliahnya tujuh juta rupiah lebih tiap semester.

Otak saya seketika spontan melakukan perhitungan matematika sederhana. Oke, saya dapat gaji sebulan sekian. Kadang terima segini, kadang segitu. Kadang ditelfon untuk datang mengajar, kadang bisa terlupakan. Nasib guru bahasa Inggris berstatus paruh waktu di lembaga kursus ya begitu. Lalu, gaji tadi dikurangi pengeluaran yang tak bisa dikompromi. Sisihkan untuk pos ini dan pos itu sekian. Hasilnya sama dengan minus sekian. 😀

Mau tidak mau impian untuk lanjut S2 harus saya kubur dulu sementara waktu.

Tapi, mari tidak langsung menyerah jika hanya karena tersandung kendala biaya. Sekarang sudah banyak beasiswa yang tersedia dan informasinya banyak tersebar di internet sehingga mudah diakses jika berminat. Jenisnya juga beragam, misalnya beasiswa untuk sekolah, kuliah, pelatihan, dan lain-lain. Beasiswa yang ditawarkan ada yang sifatnya penuh: beasiswa menanggung semua biaya yang diperlukan dari A sampai Z, dan ada yang sebagian. Artinya, sebagian biaya ditanggung pemberi beasiswa dan sebagiannya lagi kita yang bayar.

Jadi tergantung pada kebutuhan dan kualifikasi masing-masing pencari beasiswa itu sendiri.

Lantas, alasan kenapa ingin kuliah lagi dan kenapa lebih memilih kampus luar negeri?

Saya punya dua alasan untuk pertanyaan ini. Pertama, kuliah di luar negeri itu banyak untungnya. Saya sudah mengalaminya sendiri dan itu membuat saya ketagihan. 😀

Entah faktor kuliahnya atau tinggal di luar negeri untuk waktu yang lamanya yang bikin saya keenakan. Saya rasa keduanya, walaupun sesungguhnya alasan tinggal di luar negerinya punya porsi enak lebih besar daripada alasan kuliah. 😉

Tahun 2012 yang lalu saya berkesempatan kuliah selama 10 bulan di MATC, sebuah kampus komunitas di Madison, ibukota negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat melalui beasiswa program CCI. Saya mengambil jurusan Social Media. Selain kuliah, saya juga wajib berkontribusi dengan melakukan kegiatan sukarela sebanyak 40 jam yang harus saya selesaikan dalam kurun waktu tersebut. Di semester terakhir saya harus magang kerja.

Banyak faedah yang saya dapat ketika berstatus student di Madison. Diantaranya:

Biaya kuliah gratis.

Termasuk naik transportasi umum.

Dan juga tinggal di apartemen berlokasi di tengah kota.

Terima uang saku 510 dolar tiap bulan. Lebih dari cukup. Buktinya saya bisa tabung setengahnya buat beli kamera dan backpacking bareng Putra ke delapan kota.

Ikut partisipasi di sebuah konferensi dimana saya presentasi mengenai budaya Uang Japuik dalam adat perkawinan di Pariaman.

Dicintai keluarga mentor yang baik hati dan menganggap saya sudah seperti bagian keluarga mereka sendiri. Sampai sekarang pun mereka masih rutin menghubungi lewat Facebook. Meskipun kadang hanya meninggalkan pesan singkat bertuliskan seperti “I miss you” atau “Wish you were here with us” atau “I am at the Asian store right now and think of you” dan tak pernah bosan mengirimi saya paket kejutan yang isinya tidak pernah satu atau dua hadiah.

Puas menikmati suka duka empat musim berbeda.

Punya teman dari Afrika Selatan, Mesir, Pakistan, dan India. Walaupun hubungan pertemanan yang terjalin tidak erat, tapi saya belajar banyak hal selama tinggal serumah dengan mereka.

Menghadiri banyak acara seperti potluck atau acara kumpul-kumpul dimana orang-orang yang datang bisa saling berbagi makanan dan ngobrol ringan, kumpul bareng di rumah keluarga mentor yang lain, dan liburan ke luar kota bersama.

Dan pastinya yang lebih penting adalah belajar hal-hal yang positif dari budaya dan kebiasaan orang Amerika secara langsung yang sebelumnya hanya bisa saya amati lewat TV.

Oleh karena itulah, sejak saya pulang ke tanah air, saya bertekad bahwa saya akan kuliah ke luar negeri lagi. Lewat beasiswa!

Alasan kedua, kuliah ke luar negeri bisa dikatakan semacam sweet escape dari kantor yang saat itu sudah berhasil membuat saya lelah jiwa raga.

Sebagai pegawai baru, saya melakoni pekerjaan yang tanggung jawabnya mengurus pencari suaka dan pengungsi. Para imigran ini datang dari Afganistan, Pakistan, Irak, Palestina, Sudan, Myanmar, dan lain-lain dimana di sana mereka merasa jiwanya terancam lalu memutuskan untuk pergi dan mencari suaka.

Harapan mereka bisa diterima di negara yang menerima pengungsi dan memulai kehidupannya yang baru yang lebih baik.

Karena mereka imigran asing, pengawasannya menjadi tanggung jawab kantor saya.

Dan peran saya, selain mengurus mereka secara administratif, juga sebagai focal point. Staf kantor yang pertama mereka cari. Apapun kepentingan mereka.

Mulai dari minta segera diregistrasi (jika sudah diregistrasi, mereka sudah berhak memperoleh bantuan berupa kebutuhan dasarnya yang semua ini ditanggung organisasi IOM), minta pindah dari kantor ke hotel penampungan, datang mengadu mengenai masalah-masalah yang terjadi di hotel-hotel penampungan: makanan tidak enak dan porsinya sedikit, toilet mampet, uang atau hape-nya hilang dicuri, sesama mereka berkelahi, atau ada yang mecoba bunuh diri.

Tidak cuma itu saja, mereka juga datang ke saya menanyakan dimana tempat servis hape, tempat beli karpet atau bahkan rempah-rempah khas India.

Dan kalau ada dari mereka yang dipenjara karena berbuat salah, mereka suka teriak-teriak dari balik jeruji besi memanggil saya dan membujuk saya supaya si bos mau meringankan hukuman mereka.

Si bos juga kadang suka bikin kesal. Hobi perintah dan memberikan tugas mendadak. Kadang lagi serunya mengerjakan laporan, si bos bilang:

“Ayo, kita harus ke hotel penampungan sekarang. Ada briefing untuk imigran.”

“Kita ke sini, lalu ke situ, ngurus ini itu. Mungkin bisa sampai sore atau malam.”

Seringnya itu perintah dadakan yang saya tidak diberitahu sebelumnya. Dan sebenarnya beliau bisa lakukan itu sendiri.

Kadang saya berharap bisa membelah diri seperti amuba supaya bisa standby di beberapa lokasi bersamaan.

“Ini pekerjaan sulit namun berharga,” saya sering menyemangati diri sendiri. Dan saya mensyukuri ini kerjaan saya.

Namun akhirnya saya sudah sampai di satu titik dimana saya mengalami burnout. Lelah emosi. Lelah mental. Disebabkan stres berkepanjangan.

Saya yakin ini hasil akumulasi selama dua tahun yang saya tahan-tahan dan akhirnya menyerah juga.

Saya lelah melihat imigran cariin saya yang kadang sambil menangis dan menangkupkan tangannya memohon. Tapi saya tidak bisa apa-apa. Tindakan yang saya bisa lakukan hanyalah memberi pendapat atau saran kepada atasan atas apa yang terjadi. Tak lebih dari itu. Keputusan tidak ada di tangan saya. Saya tidak punya wewenang.

Saya lelah sering menyaksikan balita-balita tidur di parkiran atau di emperan mushalla kantor, atau lelah karena imigran wanita yang tengah hamil tua, naik turun tangga kantor dan berkali-kali bertanya “Pak, kapan saya akan didata?” Dan mungkin jawaban yang ia tunggu-tunggu dari saya adalah, “Kalian pindah siang ini ke hotel penampungan. Ayo, lekas siap-siap!”

Saya lelah menerima berbagai laporan menyudutkan, umpatan, informasi keliru yang sampai ke telinga saya, yang semuanya itu datang dari warga setempat, media, instansi-instansi lainnya mengenai keberadaan imigran.

Saya juga lelah ketika lagi asyik-asyiknya di rumah menikmati akhir pekan lalu ditelfon atasan dan diminta ke kantor segera karena ada segerombol imigran sampai di kantor dan harus diperiksa. Kadang saya terpaksa merespon ketus, “Tunggu sampai Senin aja, Pak. Ini kan weekend.”

Jawab si bos, “Ini kan perintah!”

Saya lelah mestinya saya bisa tidur malam di rumah, tapi kadang terganggu karena harus ke rumah sakit menunggui imigran masuk UGD, atau harus ke penampuangan karena ada imigran yang minta curhat, ada yang mau bunuh diri, ada yang kelahi, atau pernah juga saya harus ke kantor polisi menjadi saksi untuk imigran yang ditahan karena digerebek warga pacaran tengah malam di rumah tetangga.

Teman kantor kadang mengingatkan, “Jangan baper ngurusin imigran. Mereka banyak bohongnya.”

Buat saya, ketika kita dalam profesi yang menuntut kita untuk bekerja secara dekat dengan orang lain yang membutuhkan, sulit untuk tidak ikut terlibat dengan kehidupan mereka, khususnya ketika kita mendengar atau menyaksikan langsung masa-masa sulit yang harus mereka lalui.

Mereka jujur atau tidak, itu bukan fokus saya. Organisasi saya bahkan tidak berwenang menilai apakah mereka benar-benar mencari suaka dan layak diberikan status pengungsi. Tapi selama mereka dibawah pengawasan kantor tempat saya bekerja, saya punya tanggung jawab membantu mereka.

Sejak saya menjalani pekerjaan ini, saya sering curhat dengan keluarga mentor saya di Amerika. Meminta pendapat mereka atau hanya sekedar melepas uneg-uneg seputar kerjaan. Suatu hari, saya menerima surel mereka yang isinya:

You are a very empathetic and compassionate soul and you easily take on troubles of others. And I suspect that makes you particularly emotionally vulnerable, because you care so much. That is a good quality of yours, Ilham. I would hate for this experience to change you. This is a loving trait to have, but at times I think it must make your job very, very difficult. You cannot fix everything. You cannot take on the responsibility of trying to change a broken system. It must be frustrating. I am concerned about your stress level and hope that you can find ways to ‘switch off’ the stress and relax. It is important for your physical and mental health. The mental pain is worse than the physical even.

Saya setuju dan dengarkan nasehat mereka. Ini waktunya saya untuk ‘escape’.

 

 

*Bersambung*

2 thoughts on “Perjalanan Meraih “Australia Awards Scholarship” (Bagian 1)

Add yours

  1. halo kak
    saya mau mendaftar beasiswa AAS 2018 intake 2019. saya dalam proses pengisian application. nah saya kebingungan kak. di bagian qualifications itu bagaimana yah mengisinya ? mohon bantuannya kak. terima kasih
    sukses terus kak

    1. Hai Ria,

      Bagian qualifications itu diisi dengan riwayat pendidikan kita, kalau tidak salah dimulai dari jenjang tertinggi. Misalnya kalau kamu melamar AAS untuk program S2, isi qualifications itu dengan riwayat pendidikan S1 dan kemudian SMA.

      Semoga lancar persiapannya, Ria. Good luck! 🙂

What do you think?

Blog at WordPress.com.

Up ↑